Search

Sabtu, 26 Januari 2013

Apakah jenglot itu,penelitian secara ilmiah

Jenglot adalah figur berbentuk manusia yang berukuran kecil (sekitar 10-17 cm), berkulit gelap dengan tekstur kasar (seperti mumi), berwajah seperti tengkorak dan bertaring mencuat, serta memiliki rambut dan kuku yang panjang.[1][2][3] Jenglot ditemukan di beberapa wilayah di nusantara, misalnya Jawa,[1] Kalimantan,[2] dan Bali.[3][4] Jenglot dipercaya memiliki kekuatan mistis dan memakan darah manusia.[3][4] Masyarakat Indonesia meyakini jenglot sebagai makhluk yang memiliki kekuatan mistik dan dapat mengundang bencana.[1][3][4]
Secara medis, jenglot didefinisikan sebagai bukan makhluk hidup setelah diteliti oleh tim forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.[5][6] Melalui foto sinar Rontgen, tidak ditemukan unsur tulang (sebagai penyangga organ mahluk hidup) namun hal yang mengejutkan justru diperoleh dari penelitian DNA lapisan kulit jenglot yang mengelupas.
Setelah diperiksa oleh Dokter Djaja Surya Atmaja dari Universitas Indonesia, ternyata lapisan kulit itu memiliki DNA mirip primata sejenis manusia. Akan tetapi, penyelidikan asal usul jenglot secara medis hanya dihentikan sampai di sana karena pemilik jenglot tidak mengizinkan jenglot dibedah, agar tidak ada hal buruk yang terjadi.[5][6]
Legenda jenglot juga diangkat ke dunia hiburan, terutama untuk tema misteri dan supranatural. Film Indonesia berjudul Jenglot Pantai Selatan disutradarai oleh Rizal Mantovani, dirilis pada Februari 2011.

                                                                                                       Jenglot

 JENGLOT, Secara Ilmiah Bukan Manusia 

JENGLOT pernah diperiksa dr Budi Sampurna DSF di bagian Forensik RSCM. Benda sepanjang 10,65 cm, menyerupai boneka menyeramkan itu memiliki bagian serupa kepala, badan, tangan dan kaki serta rambut terurai sepanjang 30 cm. Ukuran masing-masing tampak proporsional. Hanya saja, ukuran kuku-kuku jarinya serta taring sangat panjang. Taring mencuat hampir sepanjang ukuran kepala, kuku juga panjang dan meruncing hingga bukan tidak mungkin membuat bulu kuduk penonton berdiri.
"Setiap 35 hari pada Jumat Legi, kita kasih satu tetes darah dicampur minyak javaron seperti kalau banyak orang memberikan sesaji berupa kembang atau kemenyan," kata Hendra.
Tak ada yang tahu apakah darah tersebut benar-benar diminum atau tidak oleh makhluk seberat 37,2 gram itu. Menurut Hendra, dalam tubuh jenglot masih terdapat kehidupan. Tanda kehidupan itu, menurutnya, dapat dilihat dari bola matanya yang bisa berpindah setiap saat serta rambut dan kukunya yang memanjang.
Benarkah jenglot dan kawan-kawannya itu masih hidup atau setidaknya pernah hidup? Hendra dengan berani mengajukan "tantangan" agar para ahli kedokteran menelitinya secara objektif.
Tampaknya gayung bersambut. Pihak forensik RSCM tertarik untuk meneliti "kemanusiaan" jenglot. Tentu saja bukan berdasarkan ilmu klenik, tapi secara medis berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka pada hari Kamis, 25 September 1997 siang, makhluk jenglot dibawa ke RSCM untuk diperiksa secara medis. Ruang forensik dan ruang rontgent RSCM mendadak penuh sesak pengunjung.
Mereka terdiri dari paramedis, mahasiswa kedokteran, wartawan dan sejumlah pengunjung RS yang tertarik melihat kedatangan jenglot yang ditaruh dalam kotak kayu berukir itu. Ahli Forensik FKUI-RSCM, Budi Sampurna DSF mengatakan, pemeriksaan jenglot dengan latar belakang seperti yang telah diketahui masyarakat luas merupakan tantangan menarik bagi dunia kedokteran untuk membuktikannya dari segi keilmuan. Menurut dr Budi, guna membuktikan kemanusiaan jenglot, maka akan dilakukan deteksi dengan alat rontgent untuk mengetahui struktur tulangnya serta pemeriksaan bahan dasar kehidupan seperti C,H,O atau proteinnya.
Untuk keperluan tersebut, ahli forensik mengambil sampel dari bahan yang diduga sebagai kulit atau daging jenglot serta sehelai rambutnya.
Pengambilan sampel dilakuan sendiri oleh Hendra yang saat datang ke RSCM membawa serta tiga batang hio. "Untuk jaga-jaga, jangan-jangan ada yang kena sawab-nya (pengaruh)," katanya perihal hio.
Dokter Djaya Surya Atmaja kemudian memotret dan mengukur berbagai bagian "tubuh" jenglot. Setelah itu dokter spesialis radiologi, dr Muh Ilyas memeriksa jenglot menggunakan sinar X.
Dalam pemerikasaan lebih lanjut Hendra menolak barang koleksinya dibedah. Alasannya, jasad Jenglot akan rusak. "Akibat tidak baik bagi kita semua," katanya.
Usai pemeriksaan ternyata hasilnya menyatakan jenglot tak memiliki struktur tulang. Hasil rontgent yang disaksikan puluhan wartawan, paramedis, mahasiswa praktek, ternyata hanya menampilkan bentuk struktur menyerupai penyangga dari kepala hingga badan. Selain itu terlihat juga jaringan kuku dan empat gigi selebihnya tak ada. "Ada bagian jaringan serupa daging, namun kita belum bisa memastikan apakah itu daging atau bahan lainnya," kata Muh Ilyas.
Guna mendapat hasil lebih mendetail, maka jenglot diteliti dengan CT Scan. Ternyata jenglot tidak memiliki struktur seperti manusia kendati kenampakan luar menyerupai manusia. Kini pihak Forensik FKUI-RSCM masih meneliti sampel kulit/daging serta rambut jenglot untuk mengetahui golongan darah, DNA-nya. "Memakan waktu sekitar tiga minggu," katanya.
Menanggapi hasil tersebut, Hendra mengatakan, "Apa pun hasilnya kita harus terima dong," katanya. Majalah Gatra, Nomor 52/III, 15 November 1997 memberikan laporannya mengenai jenglot. Penelitian yang dilakukan Dokter Djaja Surya Atmaja PhD, dari Universitas Indonesia menunjukkan, bahwa contoh kulit jenglot yang diperiksa memiliki karakteristik sebagai DNA (deoxyribosenucleic acid) manusia.
"Saya kaget menemui kenyataan ini," kata Djaja, doktor di bidang DNA forensik lulusan Kobe University, Jepang, 1995.
Namun Djaja menolak anggapan seolah ia mengakui jenglot sebagai manusia. "Tapi sampel yang saya ambil dari jenglot menunjukkan karakteristik manusia," katanya.
 Adapun sampelnya berupa sayatan kulit jenglot berukuran setengah luas kuku, yang mengelupas dari lengannya. Contoh kulit itulah yang kemudian ditelitinya di Laboratorium RSCM atas prakarsa dan biaya pribadi.
Spesimen seirisan kulit bawang itu kemudian diekstraksi agar DNA-nya keluar dari inti sel. DNA merupakan material genetik berupa basa protein panjang yang membangun struktur kromosom. Pada inti sel manusia terdapat 23 pasang kromosom. Masing-masing bisa dipenggal-penggal menjadi banyak lokus, satu unit yang membangun sifat bawaan tertentu.
Djaja memeriksa DNA Jenglot pada lokus nomor D1S80 dari kromosom 1 dan HLA-DQA1 dari kromosom 5, serta lima lokus khusus lain dengan teknik PCR (polymerase chain reaction). Pemeriksaan HLA-DLA-DQA1 memberikan hasil positif. Artinya, spesimen Jenglot itu berasal dari keluarga primata -bisa monyet, bisa pula manusia. Namun dari penyelidikan atas lokus D1S80, Djaja mendapat kepastian bahwa sampel DNA itu berkarakteristik sama dengan manusia. Temuan mengejutkan itu diperkuat dengan kajian mesin PCR.
"Hasilnya begitu, saya harus bilang apa," kata satu-satunya ahli DNA forensik Indonesia berusia 37 tahun itu.
Hendra Hartanto gembira mendengar hasil penelitian Djaja. "Ini menyangkut peninggalan sejarah yang berumur 3.112 tahun," katanya ketika ditemui Gatra di pameran Gelar Benda Pusaka Jenglot, di Plaza Metro Sunter, Jakarta Utara waktu itu.
Dokter Budi Pramono, yang pernah merontgen jenglot, terkejut mendengar hasil penelitian Djaja Surya. "Mirip bagaimana? Harus jelas. Saya kok kurang percaya. Nanti saya akan mengonfirmasikan langsung ke Dokter Djaja," katanya. Yang pasti, Budi tak percaya jika jenglot dianggap hidup.
"Makhluk hidup itu perlu makan dan bernapas. Lalu strukturnya perlu tulang, jantung, paru, dan lain-lain. Jenglot tak mempunyai itu semua," katanya.
Untuk menjelaskan sosok jenglot secara lengkap, kata Budi, perlu diteliti lebih jauh struktur anatominya, aspek mikroskopis jaringannya, bahkan enzim yang ada di tubuhnya. Pimpinan RSCM sempat tertarik untuk meneliti Jenglot.
Namun setelah Budi melaporkan bahwa jenglot tak memiliki kelengkapan organ sebagai makhluk, niat itu surut. Jenglot dianggap seperti karya mistik lainnya yang tak mengandung tantangan ilmiah. Sampai kemudian Djaja Surya menguji DNA dari kulit lengannya, yang ternyata berkarakteristik manusia.
Tapi Djaja pun tak memutlakkan temuannya. Bisa saja penyelidikannya meleset karena sampelnya terkontaminasi. "Misalnya, kulit jenglot sebelumnya terkena olesan darah manusia," katanya.
Waktu jenglot dipamerkan, seorang bapak yang mengaku dari Salatiga yang bertanya, "Bisakah jenglot berkembang biak?''
Pertanyaan itu semata-mata berpangkal dari kekhawatirannya jika "makhluk ganas" (karena makanannya darah) itu makin banyak. Tetapi Hendra menepis kekawatiran itu. Menurut dia, jenglot hanya hidup secara gaib (roh). Artinya, kehidupan yang dimiliki bukan seperti kehidupan makhluk hidup. Sebab, secara fisik jenglot sebenarnya sudah mati (mumi).
Namun, dalam kematiannya itu dia masih memiliki kekuatan,'' ujarnya. Karena itu, dia mempersilakan orang yang memiliki tenaga dalam untuk membuktikan keberadaan "energi'' itu.
"Energi yang terkandung di dalam jenglot betul-betul besar, sampai saya terpental beberapa meter. Padahal, saya sudah mengerahkan kemampuan tenaga dalam untuk meremukkannya, namun ternyata tak mampu. Wah, betul-betul luar biasa," tutur salah seorang pengunjung yang tak mau disebut namanya, setelah menjajal energi yang tersimpan di jenglot yang dipamerkan di Ruang Pamer Pasarraya Sri Ratu Jalan Pemuda Semarang.
Memang, banyak pengunjung yang kurang percaya jenglot itu mempunyai energi supranatural. Namun, bagi pengunjung yang mempunyai ilmu tenaga dalam atau tenaga supranatural, baru akan mempercayainya mumi mini tersebut mempunyai energi yang besar. Sampai-sampai mampu melemparkan pengunjung yang menjajal-nya.
Beberapa pengunjung yang lain yang memiliki ilmu tenaga dalam ketika menguji juga mengalami nasib serupa, terpental. Namun ada juga pengunjung yang memang tak dibekali dasar-dasar ilmu tenaga dalam, ketika mau membuktikan energi jenglot oleh panitia dengan terpaksa tidak diperkenankan. "Jangankan diremas oleh orang tua, oleh anak kecil pun jenglot pasti remuk," tutur Yehana SR, salah seorang panitia pameran.
Tidak hanya itu, kabar jenglot yang diduga mempunyai unsur DNA manusia dan energi supranatural juga telah mendunia. Buktinya, salah seorang pakar foto aura dari Belanda, yakni Ny Adri Bojoh Knijn, secara khusus datang ke Ruang Pamer Jenglot untuk mendeteksi keberadaan energi jenglot tersebut dengan alat foto aura.
Hendra Hartanto pemilik benda tersebut menjelaskan, soal asal-usul jenglot tersebut manusia atau bukan, tergantung pada kepercayaan. Karenanya, jika ada pihak lain yang mempercayai benda tersebut bukan merupakan jasad manusia sah-sah saja. Sedangkan soal penelitian DNA, pihaknya berencana akan melakukan pengujian ke Singapura dan Jepang.
Banyak pula pengunjung yang meragukan jenglot sebagai makhluk mati yang mempunyai energi. Misalnya, kapan jenglot memindahkan tangan atau kakinya. Mulai hari pertama hingga kelima dipamerkan, empat ''pertapa sakti'' tersebut tetap dalam posisi semula: tangan tertekuk di depan dada, kedua kaki lurus-sejajar, dengan kedua mata terbuka.
''Katanya hidup, kok nggak bisa berkedip-kedip?'' tanya seorang pengunjung.
Terhadap pertanyaan itu, Hendra menjelaskan, jenglot memang tak bisa berkedip. Namun, meskipun belum pernah memergoki, dia sering mendapati posisi kelopak mata yang berubah. ''Suatu saat, posisi kelopak mata terbuka lebar, tapi saat yang lain akan menurun. Saya memang belum pernah memergoki, tapi pernah mendapati kelopak mata dalam kedua posisi seperti itu,'' ucapnya mencoba meyakinkan para pengunjung.
Dia menambahkan, yang dimaksud hidup dari jenglot bukan hidup seperti halnya manusia. ''Jenglot itu mumi, dan 'kehidupannya' ada dalam kematiannya itu. Jenglot hanya hidup secara gaib (roh).''

Sumber :  id.wikipedia.org ,wikimu.com








0 komentar:

Posting Komentar